Kondisi nisan pada saat ditemukan |
Budayapijay.or.id - Situs Makam Raja Sawang terletak di area tambak Gampong Sawang Kecamatan Bandar Baru Kabupaten Pidie Jaya Provinsi Aceh. Makam ini terletak pada koordinat 01’ 74’ 62.1” ºLU – 05’ 83’ 96.2” ºBT dan berada pada ketinggian 5 meter di atas permukaan laut. Spesifiknya, makam ini tepat berada di pematang tambak, sebuah pohon besar yang tumbuh di atas makam menjadi penanda situs ini. Saat ditemukan, bagian yang terlihat hanya puncak/mahkota sementara keseluruhan kepala hingga kaki terbenam ke dalam tanah. Untuk menjaga kelestariannya, nisan kepala berhasil di angkat ke atas sementara nisan kaki sudah dililiti akar besar sehingga tidak memungkinkan direposisi.
Pada situs ini ditemukan dua buah batu nisan Aceh
pipih sayap (Othman tipe N) (Yatim 1988). Kedua nisan ini
memiliki karakter yang sama persis, berbahan batu pasir, tinggi 84 cm, panjang
44 cm dan lebar 15 cm. Secara morfologinya, kepala nisan disusun empat tingkatan
dengan kedudukan mahkota pada posisi puncak yang mana keseluruhan sisi depan
dan belakang dihiasi motif bunga awan setangkai (awan sitangké) yang
dibuat dengan pola melengkung. Kedua sisi sayap nisan dihiasi motif medallion
timbul yang mana dalam masyarakat lokal dikenal dengan istilah subang
(anting) dan dikelilingi oleh motif awan setangkai (awan sitangké).
Badan nisan memiliki panil bergaya pintu Aceh (pintô Aceh) dua baris
bertuliskan kalimat Allah menggunakan khat naskhi. Sementara bagian bawah
nisan dihiasi motif kelopak bunga yang dipadukan dengan motif jala.
Motif medallion (subang) berbentuk lingkaran di sayap nisan |
Motif pabil pintu Aceh (pintô Aceh) |
Sementara itu, di sekeliling nisan ini terdapat banyak sekali sebaran pecahan keramik porselin, stoneware dan tembikar yang berasal dari periode berbeda. Hasil pengamatan atas beberapa sampel yang diperoleh secara acak menemukan keramik seladon China, porselin biru putih China serta beberapa sampel tembikar yang diyakini produk lokal. Sebaran keramik ini merangkumi seluruh area tambak sehingga memiliki potensi tentang terdapatnya jenis-jenis keramik import lainnya yang belum teridentifikasi.
Sebaran keramik seladon dari dapur Longquan abad ke-14 Masehi disitus Makam Raja Sawang |
Sebaran keramik porselin biru putih dari Dinasti Qing abad ke-19 Masehi |
Pecahan keramik jenis kraak porcelain dari Dinasti Ming abad ke-17 Masehi |
Latar Sejarah
Rekaman kolektif masyarakat lokal bahwa makam tersebut milik seorang raja atau hulubalang (ulee balang). Namun, jika merujuk kepada hasil penelitian, kebanyakan nisan ini digunakan oleh kalangan perempuan di abad ke-18 dan 19 Masehi. Kehadiran anting atau subang pada sayap nisan sebagaimana yang disebutkan oleh Snouck Hurgronje mejadi ciri khas dari sebuah penanda makam perempuan (Hurgronje 1906). Lambourn (2008) juga memberikan keterangan yang sama tentang ciri penanda makam perempuan di Aceh. Oleh karena itu, bersarkan kehadiran ciri-ciri di atas kuat dugaan bahwa nisan ini adalah penanda makam seorang perempuan di Sawang abad ke-18 atau 19 Masehi.
Informasi yang tersedia pada batu nisan juga sangat terbatas sehingga nama pemilik nisan belum diketahui. Namun, berdasarkan ukurannya yang relatif besar (tinggi hampir 1 meter) menggambarkan bahwa beliau merupakan seoarang wanita yang memiliki peran dan kedudukan khusus dalam masyarakat di Sawang, Bandar Baru sekitar tahun 1700 dan atau 1800. Biasanya, golongan bangsawan atau hulubalang menggunakan batu nisan yang relatif lebih besar dari masyarakat biasa sebagai penanda status sosial dalam masyarakat (Ambary 1998, Tjandrasasmita 2009). Kehadiran motif sangat padat dan indah tersebut menjadi petunjuk lainnya akan kedudukan beliau di era tersebut.
Menariknya, temuan artefak lepas (keramik dan tembikar) di kawasan ini juga memberikan data baru akan kronologi pemukiman kawasan ini pada masa lampau. Temuan keramik seladon dari dapur Longquan abad ke-14 Masehi, porselin biru putih dari dapur Jingdezhen jenis jenis kraak porcelain zaman Dinasti Ming abad ke-17 Masehi serta porselin dinasti Qing abad ke-19 Masehi merupakan informasi baru tentang interaksi kebudayaan antara masyarakat Pidie Jaya dengan komunitas luar sejak ratusan tahun dahulu. Namun, topik ini perlu kajian lanjutan guna mengetahui secara lebih spesifik keadaan ekonomi dan demografi kuno wilayah Pidie Jaya.
Referensi
Ambary,
Hasan Muarif. 1998. Menemukan Peradaban:
Jejak Arkeologis dan Historis Islam Indonesia. Jakarta: Pusat Penelitian
Arkeologi Nasional.
Hurgronje, C Snouck. 1906. The Acehnese. Leyden: Brill.
Lambourn, Elizabeth. 2008.
"Tombstones, Texts, and Typologies: Seeing Sources for the Early Eistory
of Islam in Southeast Asia." Journal of the Economic and Social History
of the Orient 51:252-286.
Tjandrasasmita, Uka. 2009. Arkeologi Islam Nusantara. Jakarta:
Kepustakaan Populer Gramedia.
Yatim, Othman Mohd. 1988. Batu Aceh: Early Islamic Gravestones in
Peninsular Malaysia. Kuala Lumpur: Museum Association of Malaysia.
0 Komentar