18 OKTOBER: WIKANA, TOKOH KEMERDEKAAN YANG TERLUPAKAN


Wikana adalah tokoh yang paling tidak dikenal dalam sejarah Indonesia. Padahal pada peristiwa pencetusan Proklamasi 1945 peran beliau yang paling penting karena berkat koneksinya di Angkatan Laut Jepang atau Kaigun, Proklamasi 1945 bisa dirumuskan di rumah dinas Laksamana Maeda di Menteng yang terjamin keamanannya. Lalu Wikana mengatur semua keperluan Pembacaan Proklamasi di rumah Bung Karno di Pegangsaan, ia juga tegang saat melihat Bung Karno sakit malaria pagi hari menjelang detik-detik pembacaan Proklamasi. Wikana kasak kusuk ke kalangan militer Jepang untuk tidak mengganggu jalannya upacara pembacaan teks proklamasi. 

Setelah kemerdekaan jalan hidup Wikana sangat rumit, ia dianggap terlibat peristiwa Madiun 1948, namun berhasil lepas dari kejaran tentara. Bersama dengan pejuang-pejuang dari Nasionalis sayap kiri ia menghilang dan baru kembali setelah DN Aidit melakukan pledoi terhadap kasus Madiun 1948 yang mulai digugat oleh Jaksa Dali Mutiara pada 2 februari 1955. Namun revitalisasi PKI ditangan DN Aidit membuat Wikana tersingkir dan dianggap bagian dari golongan tua yang tidak progresif, ini sama saja dengan kasus penyingkiran kaum komunis ex Digulis oleh anak-anak muda PKI, karena tidak sesuai dengan perkembangan perjuangan komunis yang lebih Nasionalis dan mendekat pada Bung Karno. 

Terakhir Wikana tinggal di daerah Simpangan Matraman Plantsoen dalam keadaan miskin dan sengsara karena tidak mendapat tempat di PKI dan diisolir oleh Aidit. Beruntung Waperdam Chaerul Saleh pada tahun 1965 menarik Wikana menjadi anggota MPRS. Pada saat penangkapan-penangkapan setelah kejadian GESTAPU, Wikana hilang begitu saja. Sampai sekarang tidak jelas juntrungannya.

Sumber: Peran Dan Perjalanan Karir Wikana

Wikana dan Proklamasi

Semuanya terjadi karena sebagian pemuda dan Mahasiswa yang berhasil mendapatkan berita penyerahan Jepang tanpa syarat kepada Sekutu pada 14 Agustus 1945 di kapal perang USS Missouri. Berita itu menyebar di kalangan terbatas. Tak hanya menyebar, berita itu juga disikapi para pemuda. Mereka segera berkumpul esok harinya, 15 Agustus 1945, di bawah pohon. Masih di sekitar Cikini. Wikana hadir di sana. 

Rapat sederhana itu memutuskan mengirim delegasi pemuda untuk berbicara pada golongan tua agar segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Mereka begitu bersemangat. Bahkan ketika itu, Ahmad Aidit, pemuda asal Belitung, mengusulkan Sukarno sebagai Presiden setelah Proklamasi. Mengenai siapa yang akan mereka kirim, telah dipilih Suroto Kunto, Subadio, Wikana dan Aidit untuk bicara para Soekarno yang dianggap wakil angkatan tua. 

Malam harinya, keempat pemuda tadi menemui Soekarno di kediamannya, Jalan Pegangsaan Timur 56, yang kini menjadi Tugu Proklamasi. Kebetulan, rumah Sukarno sedang ramai oleh orang-orang Golongan Tua. Sukarno dan Hatta ketika itu baru saja pulang dari Saigon menemui Marsekal Terauchi di sana. 

Seperti rencana rapat di bawah pohon, Wikana mendesak agar kemerdekaan diumumkan secepat-cepatnya. Jika perlu pada 16 Agustus 1945. Sukarno yang tak suka dipaksa, enggan menuruti mau para pemuda itu. Soekarno tak bisa ambil keputusan sendiri. Harus ada pembicaraan dengan golongan tua yang lain dulu untuk proklamasi. 

Wikana dan kawan-kawan pemuda yang ikut dengannya mempersilakan para golongan tua untuk berunding dan pemuda menunggu di beranda rumah. Mohamad Hatta keluar menemui pemuda-pemuda itu. Hatta berkeras mereka tak mau dipaksa untuk segera proklamasi karena menanti penyerahan kekuasaan dari Balatentara Jepang. Tak lupa Hatta menantang pemuda yang dianggap tak mau mengerti tadi. Yang dimau golongan tua berharap golongan muda bersabar. 

“Jika saudara-saudara memang sudah siap dan sanggup memproklamasikannya, cobalah! Saya pun ingin lihat kesanggupan saudara-saudara.,” kata Hatta pada para pemuda itu. 

“Jika besok siang belum juga diumumkan, kami, para pemuda akan bertindak dan menunjukan kesanggupan yang saudara kehendaki,” balas Wikana. Kepada Sukarno, Wikana juga mengancam, “Jika tidak mau memproklamasikan, maka esok akan terjadi pembunuhan dan pertumpahan darah.” 

Menurut Suhartono Pranoto, dalam Kaigun Angkatan Laut Jepang Penentu Krisis Proklamasi (2007), Sukarno tak mempan dengan ancaman tersebut dan balik menantang, “Ini leher saya, seretlah saya ke pojok itu, sudahilah nyawa saya...” 

Tekanan proklamasi tak hanya dari golongan muda, tapi juga datang dari Sutan Sjahrir. Sore sepulang Sukarno-Hatta kembali dari Vietnam, ia mendesak Hatta untuk segera mengumumkan kemerdekaan Indonesia. 

“Sjahrir menjumpai Hatta, menceritakan kepadanya tentang cerita-cerita penyerahan itu, dan mendesaknya supaya membuat Proklamasi Kemerdekaan diluar kerangka Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), dengan alasan bahwa sekutu yang menang pasti tidak mau berurusan dengan suatu negara yang disponsori Jepang,” tulis Ben Anderson dalam bukunya Revolusi Pemoeda (1988). 

Akhirnya, pada 16 Agustus 1945, para pemuda menujukan kesanggupannya. Bukan memproklamasikan sendiri. Tapi untuk mendesak lebih jauh. Dengan cara, Sukarno dan Hatta mereka culik. Begitu juga istri Soekarno, Fatmawati, dan anak yang masih kecil, Guntur, terpaksa jadi satu paket dengan Sukarno. Para pemuda menyebut jika PETA dan Heiho akan berontak, jadi Sukarno-Hatta diamankan para pemuda. Dengan memakai dua mobil, mereka dibawa ke Rengasdengklok , Karawang. Daerah ini dirasa aman, karena komandan PETA di wilayah itu menjamin keamanan Bung Karno dan Bung Hatta.

Pemberontakan Itu Tak Pernah Terjadi

Ahmad Soebardjo sempat mengira Angkatan Darat Jepang menangkap Sukarno-Hatta. Begitu pun Laksamanan Maeda, yang menjadi wakil Angkatan Laut Jepang di Jakarta. Nishijima, asisten Laksamana Maeda, lalu menemukan Wikana di Asrama Indonesia Merdeka dan memaksa Wikana menunjukan di mana Sukarno-Hatta. Perdebatan emosional sempat terjadi. Perdebatan itu berakhir setelah ada jaminan bahwa Nishijima dan Maeda akan bekerjasama untuk mengumumkan proklamasi. Tanpa menujukkan di mana Sukarno-Hatta, Wikana mengatur kepulangan keduanya ke Jakarta. 

Subardjo lalu menjemput ke Rengasdengklok sore harinya. Tiba di sana, hari sudah senja. Soebardjo meyakinkan para penjaga bahwa Laksamana Maeda mendukung proklamasi tersebut. Pukul delapan malam, mereka semua kembali ke Jakarta. Malam itu juga, begitu sudah tiba lagi di Jakarta, Sukarno-Hatta begadang bersama yang lain. Di rumah Maeda, naskah Proklamasi pun lahir. Esok paginya, 17 Agustus 1945, dibacakan di rumah Soekarno di Pegangsaan Timur 56.

Tirto.id

Adik Seorang Digulis

Wikana bukan pemuda hasil bentukan Jepang. Wikana bahkan tergolong anti-fasis Jepang meski dia bekerja untuk Angkatan Laut Jepang dalam Asrama Indonesia Merdeka yang didirikan pada Oktober 1944. Maeda yang mendirikan asrama tersebut. Diam-diam Maeda agak berseberangan dengan militer Jepang di Indonesia. Soebardjo selaku pimpinan asrama mempekerjakan Wikana karena pengaruhnya di Gerindo. Wikana sepintas terlihat bekerja untuk Jepang. Hal ini membuat Wikana terlindung dari mata-mata Jepang yang benci dengan komunis pengikut Tan Malaka macam dirinya. 

Dalam pergerakan nasional zaman kolonial Hindia Belanda, menurut Ben Anderson, Wikana adalah anak didik Sukarno dan pernah menjadi anggota Barisan Pemuda Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo). Wikana adalah ketua pertama Gerindo. Wikana juga dekat dengan Sekolah Taman Siswa di Jawa Barat. Pada 1940, Wikana tertangkap karena menyebarkan buletin komunis ilegal Menara Merah. 

Pergerakan dan Komunisme memang bukan hal aneh bagi Wikana. Winanta, abangnya, adalah seorang Digoelis yang telah menulis novel Antara Hidup dan Mati atau Buron dari Boven Digul. Winanta dianggap terlibat Pemberontakan PKI 1926. Tidak banyak catatan soal abangnya. 

Wikana dan Winanta adalah anak dari Raden Haji Soelaiman, pendatang Jawa asal Demak yang tinggal di Sumedang, Jawa Barat. Setelah melewati pendidikan barat di ELS dan MULO, Wikana masuk pergerakan nasional sejak 1930an. Wikana tak berbeda jauh dengan abangnya. Keduanya hanya beda zaman dalam bergerak. 

Di zaman Jepang, menurut Harry Poeze dalam Madiun 1948 PKI Bergerak (2011), meski tak sebebas di zaman kolonial Hindia Belanda, Wikana masih berpolitik. Kali ini dengan resiko besar. Di masa pendudukan Jepang itu, Aidit dan Lukman, bakal pimpinan Central Comite (CC) Partai Komunis Indonesia (PKI), berhasil direkrutnya masuk asrama. Mereka mendirikan Gerakan Indonesia Merdeka (Gerindom). 

Setelah kemerdekaan Indonesia, ia terlibat dalam peristiwa Madiun 1948 yang diinisiasi oleh Front Demokrasi Rakyat FDR. Sebelum Peristiwa Madiun, Wikana adalah Gubernur Militer di Solo. Di FDR, Wikana diserahi urusan kepemudaan. Setelah peristiwa Madiun 1948, dia menghilang dan baru muncul kembali pada awal 1950-an. 

Wikana melanjutkan karier politiknya dengan menjadi anggota CC PKI. Meski dulu pernah bersama Aidit dan Lukman di zaman pendudukan Jepang, Wikana kemudian terbuang dari lingkaran kepemimpinan PKI setelah kedua tokoh itu jadi pemimpin besar PKI. Saat meledak peristiwa 1965, Wikana adalah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS). 

Dia pernah tinggal di sekitar Jalan Dempo, Matraman Plantsoen. Ketika G30S berlangsung, Wikana sedang menghadiri hari Nasionalis Tiongkok di Beijing. Pulang dari Beijing pada 10 Oktober 1965, Wikana disembut tentara yang kemudian menggiringnya ke KODAM Jaya. Setelah menginap di KODAM dia dibebaskan. Setelah sekian bulan di rumah, pada Juni 1966, dia dibawa lagi oleh tentara. Dan sejak itu ia tak pernah kembali.

Wikana jelas sosok yang patut dicatat dalam sejarah Indonesia. Dalam skripsinya Orang-orang Di Persimpangan Kiri Jalan (1969), Soe Hok Gie, mencatat: tanpa Wikana Proklamasi Indonesia tak akan berjalan lancar.
Sumber: (Tiada) Proklamasi Tanpa Wikana

Jabatan Dalam Kabinet

  1. Menteri Negara dalam kabinet Sjahrir III masa kerja 2 Oktober 1946 - 27 Juni 1947

  2. Menteri Negara dalam kabinet Sjahrir II masa kerja 12 Maret 1946 - 2 Oktober 1946

  3. Menteri Negara dalam kabinet Amir Sjarifuddin I masa kerja 3 Juli 1947 - 11 November 1947

  4. Menteri Negara (Urusan Pemuda) dalam kabinet Amir Sjarifuddin II masa kerja 11 November 1947 - 29 Januari 1948


Penyunting: Afdhal Zikri, S.Pd (Ahli Pertama - Pamong Budaya)

Posting Komentar

0 Komentar

advertise

Menu Sponsor

Subscribe Text

Ikuti Channel YouTube Budaya Pijay