Pertengahan
tahun 2016, saya memulai penelitian skripsi untuk menyelesaikan pendidikan dari
Jurusan Sejarah USK. Penelitian ini mengantarkan saya bertemu dengan Dr. Qismullah
Yusuf, salah satu dosen di FKIP USK yang saat itu sedang mengikuti program
pertukaran dosen dengan Universiti Pendidikan Sultan Idris Malaysia. Disela
wawancara terkait topik penelitian, Pak Qis (sapaan akrab Dr. Qismullah Yusuf)
turut menceritakan asal usul tokoh yang biografinya sedang saya jadikan
penelitian. Karena tradisi lisan di negeri kita sudah hampir punah, saya lalu
merekam semua cerita beliau dengan kertas dan alat perekam di ponsel dengan
harapan suatu hari nanti bisa jadi tulisan.
Cerita itu
dimulai dengan kisah seorang pemuda yang hidup pada masa kejayaan Kesultanan
Aceh Darussalam di bawah kepemimpinan Sultan Iskandar Muda. Pada masa itu, Sultan Iskandar Muda sedang gencar-gencarnya
meningkatkan kapasitas SDM rakyatnya melalui pengiriman pemuda-pemuda Aceh ke
luar negeri untuk menuntut ilmu. Pemuda-pemuda ini diambil
dari utusan masing-masing wilayah kekuasaan Kesultanan Aceh Darussalam,
termasuk Pedir. Setelah melalui berbagai tahapan persiapan, akhirnya pemuda-pemuda ini
diberangkatkan pada waktu yang telah ditentukan.
Pada masa itu, transportasi laut menjadi
satu-satunya andalan untuk bepergian jarak jauh. Dengan menumpang kapal
khusus yang telah disiapkan, pemuda-pemuda ini diantarkan menuju Timur Tengah. Ketika kapal mengangkat jangkar untuk memulai pelayaran menuju Timur
Tengah, salah seorang Pemuda Pedir mulai mengamati seluruh isi kapal. Ia tidak hanya mengamati fisik kapal, namun juga semua penumpang yang ada di dalam kapal
tersebut. Ia pun mulai
menanyai teman-teman seperjalanannya itu satu per satu. Pertanyaan yang
diajukannya tidak lebih seputar negeri asal, negeri yang akan dituju dan
disiplin ilmu yang akan ditekuninya nanti. Setelah menanyai semua pemuda yang
ada di kapal itu, ia mulai bingung, karena ia sendiri belum menentukan disiplin
ilmu yang akan ditekuninya nanti. Mayoritas pemuda yang ditanyainya menjawab
akan menekuni disiplin Ilmu Fiqih, Ilmu Al-Qur’an, Ilmu Hadits, Perbandingan
Agama, Sejarah Peradaban Islam dan berbagai disiplin ilmu keagamaan lainnya.
Setelah
berhari-hari berlayar dan ditengah kegalauannya menentukan disiplin ilmu yang
akan ditekuni, kapal merapat ke India untuk mengisi ulang bahan bakar dan
melengkapi kebutuhan lainnya. Karena kapal berlabuh cukup lama, Pemuda Pedir
itu memutuskan untuk turun kapal dan melihat kondisi daerah pemberhentian. Ia
berkesempatan keluar pelabuhan dan menyaksikan betapa India sudah mengalami
perkembangan pembangunan fisik yang luar biasa. Ia menyaksikan betapa India
sudah mampu membangun bangunan-bangunan yang megah, bendungan, irigasi dan
banyak bangunan lain yang belum pernah disaksikannya di tanah kelahirannya.
Lalu ia
bertanya ke orang-orang yang dijumpainya disana tentang bagaimana mereka
membangun semua bangunan megah itu. Orang-orang itu menceritakan bahwa mereka
mengenal teknologi ini dari Turki. Seakan mendapat jawaban dari langit, Pemuda
Pedir itu lantas bertekad bahwa dia harus sampai ke Turki. Setelah puas
menyaksikan semua bangunan, ia kembali ke kapal. Kapal pun melanjutkan
perjalanan menuju Timur Tengah. Hari berganti minggu, minggu berganti bulan,
akhirnya kapal merapat di Pelabuhan tujuan. Setelah turun dari kapal, beliau
bertanya ke orang-orang di pelabuhan bagaimana cara agar sampai ke Turki.
Satu-satunya cara hanya berjalan kaki. Karena tidak ada pilihan lain, akhirnya
ia memutuskan untuk berjalan kaki ke Turki. Perjalanan berbulan-bulan yang
ditempuhnya tidak sia-sia. Ia berhasil sampai ke Turki. Di Turki ia belajar
arsitektur, agar di kemudian hari ia bisa membangun bangunan-bangunan hebat di
Aceh seperti yang dilihatnya di India.
Setelah sekian
lama menuntut ilmu, akhirnya waktu kembali ke kampung halaman pun tiba. Ia dan
semua pemuda yang berangkat bersamaan kembali berkumpul di kapal. Sesampainya
di kapal, semua orang bertanya ke pemuda Pedir itu, karena sejak turun dari
kapal beberapa tahun lalu, mereka tak pernah lagi melihat pemuda ini. Lalu Pemuda
Pedir itu menceritakan pengalamannya belajar arsitektur di Turki. Semua
teman-temannya memuji keberaniannya bertualang ke Turki. Namun tak sedikit yang
khawatir bahwa sultan akan menghukumnya karena ia tidak mengikuti perintah
sultan untuk mendalami ilmu islam di Timur Tengah. Ia pun mengaku siap
menghadapi semua kemungkinan yang akan terjadi nanti sesampainya di Aceh.
Tidak jauh
berbeda dengan perjalanan pergi, perjalanan pulang ke kampung halaman ini pun
dilaluinya dengan suka cita. Setelah berlayar berbulan-bulan, akhirnya kapal
merapat ke dermaga Pelabuhan Kesultanan Aceh Darussalam. Sesampainya di
pelabuhan, keluarga masing-masing telah menunggu para pemuda utusan ini. Dan
yang tak kalah pentingnya, para pengawal istana telah menunggu mereka untuk
menghadap ke sultan. Setelah melepas rindu dengan keluarga masing-masing,
mereka lantas berjalan menuju istana untuk menghadap sultan.
Sultan
menyambut mereka dengan suka cita. Masing-masing menceritakan pengalamannya
selama belajar di Timur Tengah dan ilmu apa saja yang telah diperoleh. Ketika
tiba giliran Pemuda Pedir itu, ia lalu menceritakan pengalamannya belajar
arsitektur di Turki dengan semangat dan berapi-api, sedangkan teman-temannya mulai
khawatir, mencoba menerka dari raut wajah sultan tentang hukuman apa yang akan
dijatuhkan sultan kepada pemuda malang itu.
Setelah beliau menceritakan semua yang harus diceritakannya, sultan lalu
berdiri dan tersenyum sambil
mengapresisasi keberanian Pemuda Pedir itu. Meskipun begitu, di akhir
apresiasinya, dengan bijaksana sultan tetap menganggap apa yang dilakukan
Pemuda Pedir itu merupakan sebuah pelanggaran berat terhadap amanah sultan.
Oleh karena itu, sultan menjatuhi hukuman kepada Pemuda Pedir itu dengan
kewajiban membangun bendungan irigasi di Perbukitan Pedir dalam tempo 3 bulan. Pemuda
Pedir itu lantas menyanggupinya.
Bermodalkan
ilmu yang diperolehnya dari Turki, ia pun mulai mengerjakan pembangunan
bendungan irigasi tersebut. Awalnya semua orang menganggapnya gila karena ingin
membendung sungai di Perbukitan Pedir yang besar dan deras itu. Namun, karena
melihat kesungguhan Pemuda itu, semakin hari jumlah warga yang turut
membantunya semakin banyak. Hampir genap tiga bulan mereka bekerja dan mulai
membuahkan hasil. Air dari bendungan mulai dialirkan ke lahan-lahan tandus di
lereng gunung menggunakan batang pinang yang dibelah dua. Rakyat mulai
merasakan manfaatnya. Setelah merasa tugasnya berhasil, Pemuda Pedir itu
kembali mengahadap sultan guna melaporkan hasil pekerjaannya. Sesampainya di
istana, sultan mendengarkan dengan seksama laporan Pemuda Pedir itu, dan mengapresiasi
apa yang telah dilakukannya. Namun, menurut sultan semua itu belum sepadan
dengan kesalahan yang telah dilakukannya.
Lantas sultan
memerintahkan pemuda Pedir itu untuk melakukan hal yang sama di Dataran Tinggi
Gayo. Pemuda Pedir itu pun menyanggupinya. Begitu tiba di Gayo, beliau
dihadapkan dengan kenyataan bahwa disana tidak ada sungai besar seperti di
Pedir. Beliau kebingungan mencari cara bagaimana mendatangkan air untuk
mengairi lahan tandus di perbukitan itu. Hari berganti minggu, minggu berganti
bulan, Pemuda Pedir itu belum juga menemukan cara. Di tengah kebingungannya,
Allah menurunkan hujan yang sangat deras. Hujan terus berlangsung berhari-hari.
Dengan cermat ia mengamati setiap bagian dari bukit. Ia melihat bahwa setelah
hujan, banyak air yang keluar merembes dari batu-batu di tebing bukit. Dari
situ ia mulai memahat batu untuk membentuk semacam parit-parit kecil. Air
rembesan dari batu mengalir melalui parit-parit kecil itu dan akhirnya
terkumpul di kolam penampungan yang telah disiapkannya terlebih dahulu. Setelah
berhasil membuat banyak kolam penampungan di tebing-tebing bukit dan
mengalirkannya ke lahan tandus di lereng gunung, akhirnya ia kembali menghadap
Sultan.
Mendengar
laporan Pemuda Pedir itu, sultan terkagum-kagum dan mengapresiasi hasil
kerjanya. Namun, lagi-lagi sultan merasa itu semua belum sepadan dengan
kesalahan yang telah dilakukannya. Lalu, sultan memerintahkan Pemuda Pedir itu
untuk melakukan hal yang sama di daerah Kemuning. Di daerah yang terkenal
tandus ini, Pemuda Pedir itu kembali sukses membangun bendungan untuk mengairi
lahan-lahan tandus. Daerah yang semula tandus ini sekarang kita kenal dengan
nama Blang Pidie karena keberhasilan Pemuda Pedir itu mengalirkan air ke lahan
tandus. Blang Pidie sampai hari ini masih terkenal sebagai salah satu daerah
produsen beras di Aceh.
Selain menguasai ilmu arsitektur, Pemuda Pedir itu ternyata juga menyempatkan diri mendalami ilmu agama di Turki. Sehingga tidak heran ia juga terkenal sebagai ulama kharismatik yang sangat disegani dan dipatuhi fatwa-fatwanya oleh para petinggi kesultanan pada masa itu. Pemuda luar biasa ini dikemudian hari dikenal dengan nama Tengku Chik Di Pasie.
Penulis : Wan Dian Armando (Ahli Pertama - Pamong Budaya)
0 Komentar