Sarwo Edhie Wibowo juga merupakan ayah dari mantan Kepala Staf Angkatan Darat Pramono
Edhie Wibowo.
Sarwo Edhie Wibowo bekerja sama dengan Suharto untuk membasmi PKI, yang disebut-sebut sebagai dalang Gerakan 30 September 1965. Letjen TNI (Purn.)
Sarwo Edhie Wibowo berperan sangat penting dalam menumpas pemberontakan 30
September 1965.
Beliau pernah menjabat sebagai Panglima RPKAD (Kopassus). Ia juga pernah menjabat
sebagai Duta Besar Indonesia untuk Korea Selatan dan Gubernur Akademi Militer Indonesia.
Kehidupan awal
Letnan
Jenderal TNI (Purn) Sarwo
Edhie Wibowo lahir pada tanggal 25
Juli 1925 di Pangenjuru, Purworejo, Jawa Tengah. Ia meninggal di Jakarta pada tanggal 9 November 1989.
Pada tahun 1942, ketika Jepang
menduduki Indonesia, Sarwo Edhie Wibowo mendaftar sebagai Prajurit
Pembela Tanah Air (PETA). Prajurit PETA adalah pasukan tambahan Jepang
yang terdiri dari tentara Indonesia.
Setalah
Ir. Soekarno memproklamirkan
Kemerdekaan Indonesia, pada
tanggal 17 Agustus 1945, Sarwo Edhie
Wibowo menjadi bagian dari BKR, organisasi yang merupakan cikal bakal ABRI
(Tentara Nasional Indonesia).
RPKAD adalah upaya Indonesia untuk membentuk pasukan khusus (Kopassus), dan pengangkatan
Sarwo Edhie sebagai komandan pasukan elit
ini berkat Ahmad Yani.
Pada tahun 1964, Yani telah menjadi KSAD dan menginginkan seseorang
yang dapat dipercaya untuk
memimpin RPKAD.
Sewaktu Sarwo Edhie Wibowo memimpin RPKAD, berbarengan
dengan peristiwa Gerakan 30 September.
Tanggal 1 Oktober 1965, enam jendral diculik dan dibawa ke Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma. Saat proses penculikan dilakukan, sekelompok pasukan tak dikenal menduduki Monumen Nasional (Monas), Istana Kepresidenan, Radio Republik Indonesia (RRI), dan gedung telekomunikasi.
Hari dimulai seperti biasa bagi Sarwo Edhie dan
pasukan RPKAD yang menghabiskan pagi hari di Markas RPKAD
di Cijantung, Jakarta.
Kemudian Kolonel Herman Sarens Sudiro tiba dan
menginfokan bahwa dia
menerima pesan dari markas Kostrad dan memberi tahu Sarwo Edhie tentang
situasi di Jakarta.
Saat itu Sarwo Edhie
Wibowo diperintahkan untuk menempati kembali
gedung RRI dan Telekomunikasi. Hal ini dapat dilakukan dengan mudah tanpa perlawanan.
Sarwo Edhie Wibowo dan pasukannya kemudian diperintahkan
juga untuk merebut kembali Pangkalan
TNI AU Halim Perdanakusuma. Pengambilalihan juga dilakukan dengan baik.
Sebelum peristiwa ini terjadi,
Sarwo Edhi didatangi Brigjen
Sabur yang saat itu memimpin Resimen
Cakrabirawa.
Setelah Suharto diangkat menjadi Panglima Angkatan Darat
oleh Soekarno pada 16
Oktober 1965, Sarwo Edhie Wibowo diangkat
untuk melenyapkan anggota PKI di Jawa Tengah.
Sebelum
kematiannya, di hadapan anggota Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR), Sarwo Edhie Wibowo, mengaku korban tewas dalam penumpasan anggota PKI
pasca gerakan 30
September 1965 itu sekitar tiga juta.
Jejak karir
Pernah menjadi Komandan Batalyon Divisi Diponegoro (1945-1951), Komandan Resimen Divisi Diponegoro (1951-1953), Wakil
Komandan Resimen di Akademi Militer Nasional (1959-1961), Kepala Staf Resimen Pasukan Komando (RPKAD) (1962–1964) dan Panglima RPKAD (1964–1967).
Penyunting : Afdhal Zikri, S.Pd (Ahli Pertama - Pamong Budaya)
0 Komentar