Batu Giling : Teknologi Peninggalan Masa Pra-Sejarah

Budayapijay.or.id - Batu Giling, sebenarnya bukan hal yang ganjil lagi terdengar ditelinga kita, hampir diseluruh pelosok muka bumi mengenal alat rumah tangga tradisional ini. Ya, kita sebut saja alat rumah tangga tradisional. Mengapa demikian ? Selain dari namanya, batu giling, yang sudah jelas terbuat dari bahan baku batu merupakan salah satu alasan yang menjadi pendukung sifat tradisionalnya. Sering kita jumpai di dapur ibu-ibu yang lanjut usia dan kerap lebih suka dipergunakan alat ini dalam hal memasak, dibanding alat lainnya yang pasti kita sudah tahu berbau mesin atau modern. Nah, siapa sangka batu giling ini juga berada di dapur rumah ibuku, di dapur nenek kontrakanku, dan berada di serambi dapur Rumoh Aceh Pidie Jaya tempat kerjaku sebagai salah satu koleksinya. Bisa kita beri predikat luar biasa, bukan?

Namun, keberadaannya hingga sekarang pastilah memberi tanya bagi orang-orang yang butuh akan informasi identitasnya, selaku aku yang begitu diberi tugas untuk mengulas alat rumah tangga tradisional “Batu Giling” ini. Sekian hari aku tetap berkutat kepada informasi literatur mengenai batu giling, mengobrak-abrik media digital web, jurnal digital, artikel digital, video dokumenter dari youtube, informasi berita Instagram. Hingga akhirnya aku berinisiatif untuk melakukan sharing bersama teman satu komunitas menulis selama diperkuliahan, dan pada akhirnya aku melakukan sharing bersama teman S2 di Universitas Gajah Mada, Jurusan Sejarah yang sekarang berkontribusi dalam dunia kepenulisan sastra sejarah. Rumit ya pola pikirku?

Parahnya, hampir mau minta ganti judul, karena untuk batu giling ini begitu mainstream anggapannya, sebab masih minimnya literatur yang ada, masih sangat umum bahasannya, dan tidak tahu batu giling ini mau dibawa kemana endingnya. Berdasarkan literatur yang ada, bahwa batu giling ini tidak memiliki perbedaan yang signifikan diantara beberapa tempat, provinsi skala kecilnya. Barangkali hanya berbeda dari penyebutan, fungsi dan kegunaan serta bahan utamanya tetaplah sama, dari batu. Alangkah baiknya kita ulas saja batu giling ini ? sampai mana akhirnya, kita lihat saja dulu. Mari….

1. Batu Giling dan Masa Pra-Sejarah

Seperti sudah dijelaskan diatas, bahwa dasar batu giling adalah Masa Pra-Sejarah, warisan budaya pada periodesasi Masa Mesolithik, dimana pada masa ini sudah menampakkan kemajuan dalam hal kemampuan manusia dalam memproduksi sendiri alat-alat tradisional yang mereka gunakan, walau masih memanfaatkan bahan utama batu, namun pada masa ini sudah muncul beberapa kerajinan-kerajinan, seperti gerabah, alat teknologi berburu dan menghaluskan makanan, obat, serta ramuan ritual kepercayaan. Sebagai contoh alat teknologi tradisional menghaluskan makanan, yaitu batu pipisan. Batu pipisan ini sangat mirip dengan bentuk batu giling yang masyarakat miliki sekarang ini. Dalam Jurnal Amerta 13, 1993 tulisan Truman Simanjuntak “Perwajahan Mesolithik di Indonesia” Berkala Arkeologi menegaskan bahwa unsur Mesolithik umum berupa peralatan mikrolit, Mesolithik Indonesia memperlihatkan proses Neolitisasi melalui pengenalan unsur-unsur Neolithik. Unsur-unsur tersebut secara umum meliputi aspek teknologi (pengenalan batu pipisan dan batu giling sebagai alat untuk menghancurkan biji-bijian atau untuk meramu zat pewarna), aspek sosial (kehidupan yang mengarah pada bertempat tinggal menetap), dan dalam bidang ekonomi (ditunjukkan oleh penemuan sisa beberapa jenis tumbuhan).

Selain itu, buku yang berjudul “Jawa Tengah Sebuah Potret Warisan Budaya” mempertegas kembali mengenai keberadaan alat teknologi peninggalan Mesolithik ini, bahwa batu pipisan sudah dikenal sejak Masa Pra-Sejarah dan masih terus digunakan oleh masyarakat hingga kini. Pada awalnya, batu pipisan tidak dapat dibuat secara khusus dengan bentuk seperti yang ada sekarang. Pipisan hanya berupa sebuah batu yang permukaannya datar dan bentuk batu pipisan tampaknya masih bertahan hingga sekarang. Hal inilah yang menyebabkan batu pipisan Masa Pra-Sejarah seringkali sulit dibedakan dengan benda yang sama tapi dari masa yang berbeda, seperti batu giling sekarang ini. Kegunaaan dari batu pipisan juga untuk menghaluskan biji-bijian dan ramuan tumbuhan yang berasal dari tanaman liar. Jadi, selain dari bentuk yang kian sulit untuk dibedakan, segi kegunaan juga memiliki kesamaan yang sangat signifikan, menghaluskan bahan makanan atau beraneka macam rempah sebagai cita rasa makanan yang ada.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa batu pipisan atau batu giling berasal dari Masa Pra-Sejarah yang hingga kini masih digunakan sebagai alat teknologi rumah tangga dengan fungsi dan kegunaan yang sama (menghaluskan bahan makanan, seperti rempah-rempah). Selain itu, batu giling yang digunakan saat ini juga masih menggunakan batu giling berbahan batu dan sangat jelas Masa Pra-Sejarah masih menjadi warisan dalam kehidupan sekarang ini.

Dari segi bentuk juga memiliki kesamaan dengan alas batunya berbentuk bundar memanjang dengan permukaan datar. Sedangkan alat penggiling batunya berbentuk bulat silinder, dan diperkirakan ketika alat penggiling batu itu digunakan pastilah dengan menggunakan dua telapak tangan dalam keadaan melintang, secara ukurannya lumayan memanjang. Namun, sedikit terdapat perbedaan dengan batu giling yang sekarang digunakan, dimana batu pipisan memiliki semacam dua kaki untuk menopang, sedangkan batu giling tidak ada kaki sama sekali, jadi ketika digunakan langsung seolah-olah tergeletak dilantai. Untuk lebih jelasnya bagaimana perbedaan dan persamaan antara batu pipisan dan batu giling, dapat dilihat gambar dibawah ini.

Gambar : Batu Pipisan Masa Mesolithikum
 
Gambar : Batu Giling Masa Sekarang


2. Persebaran Batu Giling

Batu giling tidak hanya dikenal bagi masyarakat lokal, melainkan menyebar ke seluruh Indonesia bahkan ke seluruh pelosok dunia. Sama halnya dengan bahan baku pembuatan dan kegunaan, namun berbeda dari nama dan bentuknya.

3. Jenis-Jenis Batu Giling

Batu giling memiliki beraneka ragam jenis, baik dari segi bentuk, segi ukuran, bahan baku pembuatan, bahkan dari skala olahan yang digiling. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat diantaranya sebagai berikut :

    a. Batu Giling Kacang

Seperti namanya, batu giling kacang merupakan jenis batu giling yang digunakan untuk menggiling atau menghaluskan palawija dan kacang-kacangan seperti kedelai, kacang merah, kacang tanah, dan gandum. Bahan-bahan yang digiling tersebut akan menghasilkan tepung yang digunakan dalam membuat makanan. Maetdol atau Mangdol (sebutan untuk orang Korea). Nah, Maetdol ini diperkirakan telah digunakan oleh rakyat Korea sejak zaman purba dan mencerminkan aspek peralatan dapur yang primitif. Artefak batu giling yang ditemukan diperkirakan berasal dari abad ke-8 M, menandakan bahwa masyarakat Korea pada saat itu telah mengusahakan lahan pertanian.

Gambar : Maetdol yang digerakkan oleh sapi ala rakyat Korea

Bentuk Maetdol sangat sederhana, yakni dengan dua buah batu penggiling saling ditumpuk, dan batu paling atas diputar untuk menggiling. Ukuran Maetdol bervariasi, dari yang berdiameter 20 cm sampai 1 meter. Permukaan penggilingan dibuat kasar dan tidak rata agar bahan-bahan palawija dapat dihaluskan.

    b. Batu Giling Tahu

Berdasarkan tajukan banyumasekspres.id berjudul “Kisah di Balik Monumen Gilingan Tahu di Desa Nusadadi Kecamatan Sidereja, Cilacap” terdapat batu besar dengan diameter 50 cm yang terlihat di depan rumah Agus Abdulah S Th I di Dusun Nusadadi Desa Tinggarjaya Kecamatan Sideraja. Batu bundar tersebut memiliki gerigi di bagian bawah yang saling bertumpu dan lubang yang terdapat pada batu berfungsi untuk menyalurkan air dan penggilingan. Dari bentuknya, batu tersebut digunakan untuk penggilingan kedelai yang akan diolah menjadi tahu. Batu giling kini sengaja ditaruh di depan rumahnya dan sekaligus dibuat sebagai monumen penggilingan tahu, bertujuan untuk mengenang perjuangan pendahulu, sebelum ditemukan mesin, bahwa proses produksi penggilingan tahu dilakukan secara manual atau tenaga manusia.

Gambar : Batu Giling Tahu yang Dijadikan sebagai Monumen

Proses pembuatan tahu, kedelai yang sudah direndam semalaman, lalu sedikit demi sedikit dimasukkan kedalam lubang batu, sekaligus air juga dialirkan bersamaan akan digilingnya kedelai. Perlahan batu di dorong memutar searah jarum jam, hingga menjadi adonan. Dibagian bawah terdapat ember yang berfungsi untuk menampung luapan adonan kedelai. Setelah digiling, selanjutnya adonan di rebus hingga matang ditungku berukuran besar, setelah matang adonan tersebut lalu disaring dengan kain putih tipis untuk memisahkan sari kedelai dan ampasnya. Sari kedelai yang sudah berhasil dipisah lalu diaduk dan diisi dengan ragi atau aseman, yang berfungsi untuk menggumpalkan sari kedelai. Setelah menggumpal, kedelai tersebut lalu di cetak untuk kemudian dipotong sesuai ukuran besar dan kecil.

    c. Batu Giling Rempah-Rempah

Batu giling dibuat daripada batu besar dan dicanai menjadi segi empat dan sebuah anak batu. Batu giling terdiri dari dua perkara yaitu ibu batu bagian dasar batu giling yang digunakan untuk meletakkan bahan-bahan yang akan digiling dan anak batu ialah batu giling yang akan digunakan untuk menggiling bahan-bahan tadi.

Batu giling telah digunakan untuk menggiling rempah-ratus, cabe, daun inai, kelapa untuk dibuat kerisik dan sebagainya. Hasil gilingan menggunakan batu giling ini amat halus dan lumat. Cara menggunakan batu giling ini juga amat unik. Kedua belah tangan akan digunakan untuk memegang anak batu menggiling bahan dengan cara menyorong dan menarik batu ke depan dan ke belakang supaya bahan gilingan halus dan hancur sehingga lumat. Batu giling ini juga perlu diasah supaya permukaan tetap dalam keadaan kasar. Jika tidak, bagian dasar akan licin dan akan sulit untuk melakukan kegiatan penggilingan karena sudah tidak ada geseran. Pada zaman dahulu, terdapat orang yang akan datang ke setiap rumah untuk menawarkan jasa menajamkan batu giling ini. Alat yang yang digunakan seperti paku, kemudian diketukkan pada dasar batu giling selama proses menajamkan.

    d. Cobek dan Ulekan

Berdasarkan penjelasan diatas, cobek dan ulekan salah satu alat tertua yang digunakan manusia sejak zama batu. Buktinya, beberapa temuan arkeologi menunjukkan benda-benda batu yang digunakan sebagai alat untuk menumbuk. Sebagai contoh, artefak batu yang ditemukan di Yunani dari kurun 3200 – 2800 SM, menunjukkan alat untuk mengekstraksi atau menumbuk zat pigmen pewarna yang diambil dari batu-batuan.

Gambar : Aneka Bentuk Cobek dan Ulekan, sebagai Artefak Arkeologi Yunani

Cobek dan ulekan merupakan sepasang alat yang telah digunakan sejak zaman purbakala untuk menumbuk, menggiling, melumat, mengulek, dan mencampur bahan-bahan tertentu, misalnya bumbu dapur, rempah-rempah, jamu, atau obat-obatan. Istilah cobek merujuk kepada sejenis mangkuk sebagai alas untuk kegiatan menumbuk atau mengulek, sementara ulekan merujuk kepada benda tumpul memanjang seperti pentungan yang dapat digenggam tangan untuk menumbuk atau mengulek suatu bahan. Baik cobek atau ulekan biasanya dibuat dari bahan yang keras, seperti kayu keras, batu, atau keramik. Cobek dan ulekan telah lama digunakan sebagai alat dapur dalam proses masak – memasak hingga kini.

Di Indonesia, cobek dan ulekan juga digunakan sebagai alat masak – memasak rumah tangga, alat untuk mengulek dan melumat bumbu dapur, seperti sambal ulek atau sambal terasi, menghaluskan dan mencampur bumbu gado – gado, dan menyajikan ayam penyet dalam dunia restoran.

Bentuk serta ukuran cobek dan ulekan sungguhlah berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan penggunanya. Cobek kecil berdiameter 8 – 13 cm biasanya digunakan untuk penyajian sambal secara perseorangan dirumah makan atau restoran, cobek yang berukuran sedang berdiameter 15 – 20 cm untuk penggunaan rumah tangga, dan cobek berukuran besar berdiameter 30 – 40 cm dan berbentuk sedikit datar biasanya digunakan oleh penjual gado – gado atau warung makan yang menyajikan hidangan dalam jumlah besar.

Tingkat kecekungan cobek dapat berbeda – beda, ada yang dalam menyerupai mangkuk atau lumpang, ada pula yang datar. Ulekan pun memiliki bentuk yang berbeda – beda, paling dominan adalah bulat panjang dengan cara menggenggam seperti menggenggam pistol. Akan tetapi ada pula ulekan yang berbentuk bulat sesuai genggaman tangan untuk menumbuk. Cobek dan ulekan ini juga biasanya digunakan untuk membuat jamu.

Cobek

 
Ulekan

Baik cobek ataupun ulekan biasanya dibuat dari bahan yang keras, misalnya kayu beras, batu dan keramik. Di Indonesia biasanya bahan yang sering digunakan adalah batu alam, batu kali atau batu sungai, dan batu andesit (batu vulkanik gunung merapi).  Beberapa daerah di Indonesia adalah sentral pengrajin cobek dan ulekan batu, yaitu Daerah Muntilan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, dekat Candi Borobudur. Uniknya, cobek dan ulekan yang terbuat dari bahan utama keramik digunakan apoteker dalam melumatkan dan mencampur bahan obat-obatan dalam kegiatan farmasi.

Aku dan sekeluarga menyebutnya obat giling, pastinya dengan alasan bahwa pembuatannya dengan digiling supaya obat kapsulnya halus dan biasanya obat giling tersebut dikonsumsi bersama obat cairnya (syrup). Memang unik, ternyata alat penggilingnya itu sebentuk cobek dan ulekan juga. Aku lupa sekitar umur berapa, namun pastinya masih jenjang Sekolah Dasar ingat ku. Di keluargaku ketika sakit pasti dibawa ke puskesmas, sangat jarang mendahului obat-obatan warung, dan waktu dulu setiap berobat pasti diberi obat giling sama dokternya. Pahit, walau dilarutkan dalam syrup dengan citarasa strawberynya, tak jarang menelannya harus tutup hidung bahkan sampai muntah. Peliknya berbicara obat. Begitupun sama adik-adik dirumah, berlaku hal yang sama. Tak kuat menelan obatnya.

Nah, cerita pengalamanku diatas hanya sekedar momentum mengingat kembali, bahwa batu giling yang aku bahas sekarang, yang akan menjadi sebuah tulisan telah saling keterkaitan, batu giling ternyata tidak hanya digunakan dalam hal rumah tangga, melainkan berkiprah di dunia medis. Cobek dan ulekan apoteker ini disebut mortir (mortar) dan stamper, yuk ikuti tulisan ini untuk lebih jelasnya.

    e. Mortir (Mortar) dan Stamper

Di dalam dunia medis atau ilmu kedokteran, mortir dan stamper ini dijadikan sebagai alat laboratorium dalam hal menghaluskan, melumat, dan meracik obat-obatan. Sebenarnya mortir dan stamper yang dimaksud lebih menyerupai lumpang dan alu, cekungan permukaan alasnya lebih terlihat dalam dibanding dengan cobek, sedangkan ulekannya atau stamper sebutannya lebih berbentuk alu. Karena ukurannya yang relatif kecil dan bahan yang dihaluskan cenderung ringan, maka dari itu penggunaannya masih bersifat digiling. Sedangkan penggunaan lumpang dan alu lebih bersifat ditumbuk. Nah, dengan alasan dari segi persamaan cara menggunakan, mortir dan stamper masih terkategori kedalam kelompok cobek dan ulekan.

Seperti yang ditegaskan lewat artikel analitika.co.id mengenai Mortir dan Stampel yang di rilis pada Desember 2, 2021 menjelaskan bahwa mortar (mortar) dan stamper atau biasa disebut sebagai lumpang dan alu adalah alat laboratorium yang umumnya digunakan untuk menghaluskan bahan pada proses pembuatan atau peracikan sediaan obat. Mortir dan stamper berbahan dasar keramik porselen dan berwarna putih, memiliki ukuran yang bervariasi yaitu 8 cm, 10 cm, 13 cm, dan 16 cm. Ukuran tersebut digunakan berdasarkan jumlah bahan yang akan dihaluskan.

Gambar : Aneka Ragam Ukuran Montir dan Stamper

Bahan obat yang dihaluskan akan tercampur atau homogen ketika digerus bersamaan dengan bahan obat lainnya. Mortir dan stamper menjadi alat paling umum yang digunakan pada beberapa tempat seperti laboratorium farmasi, rumah sakit, apotek, dan tempat penunjang Kesehatan lainnya yang memiliki instalasi farmasi. Cara menggunakannya pun cukup mudah, teknik menggerus atau menghaluska bahan obat dilakukan dengan memutar stamper ke lawan arah jarum jam. Jika dilakukan searah dengan jarum jam, maka akan membuat bahan obat masuk kedalam pori-pori mortair dan membuat massa pada bahan obat menjadi berkurang.

Penulis: Nurul Aini, S.Pd (Analis Kesenian dan Budaya Daerah)









Posting Komentar

0 Komentar

advertise

Menu Sponsor

Subscribe Text

Ikuti Channel YouTube Budaya Pijay