Namun,
keberadaannya hingga sekarang pastilah memberi tanya bagi orang-orang yang
butuh akan informasi identitasnya, selaku aku yang begitu diberi tugas untuk
mengulas alat rumah tangga tradisional “Batu Giling” ini. Sekian hari aku tetap
berkutat kepada informasi literatur mengenai batu giling, mengobrak-abrik media
digital web, jurnal digital, artikel digital, video dokumenter dari
youtube, informasi berita Instagram. Hingga akhirnya aku berinisiatif untuk
melakukan sharing bersama teman satu komunitas menulis selama
diperkuliahan, dan pada akhirnya aku melakukan sharing bersama teman S2 di
Universitas Gajah Mada, Jurusan Sejarah yang sekarang berkontribusi dalam dunia
kepenulisan sastra sejarah. Rumit ya pola pikirku?
Seperti
sudah dijelaskan diatas, bahwa dasar batu giling adalah Masa Pra-Sejarah, warisan
budaya pada periodesasi Masa Mesolithik, dimana pada masa ini sudah menampakkan
kemajuan dalam hal kemampuan manusia dalam memproduksi sendiri alat-alat
tradisional yang mereka gunakan, walau masih memanfaatkan bahan utama batu,
namun pada masa ini sudah muncul beberapa kerajinan-kerajinan, seperti gerabah,
alat teknologi berburu dan menghaluskan makanan, obat, serta ramuan ritual
kepercayaan. Sebagai contoh alat teknologi tradisional menghaluskan makanan,
yaitu batu pipisan. Batu pipisan ini sangat mirip dengan bentuk batu giling
yang masyarakat miliki sekarang ini. Dalam Jurnal Amerta 13, 1993 tulisan
Truman Simanjuntak “Perwajahan Mesolithik di Indonesia” Berkala Arkeologi
menegaskan bahwa unsur Mesolithik umum berupa peralatan mikrolit, Mesolithik
Indonesia memperlihatkan proses Neolitisasi melalui pengenalan unsur-unsur
Neolithik. Unsur-unsur tersebut secara umum meliputi aspek teknologi
(pengenalan batu pipisan dan batu giling sebagai alat untuk menghancurkan
biji-bijian atau untuk meramu zat pewarna), aspek sosial (kehidupan yang
mengarah pada bertempat tinggal menetap), dan dalam bidang ekonomi (ditunjukkan
oleh penemuan sisa beberapa jenis tumbuhan).
Selain
itu, buku yang berjudul “Jawa Tengah Sebuah Potret Warisan Budaya”
mempertegas kembali mengenai keberadaan alat teknologi peninggalan Mesolithik ini,
bahwa batu pipisan sudah dikenal sejak Masa Pra-Sejarah dan masih terus
digunakan oleh masyarakat hingga kini. Pada awalnya, batu pipisan tidak dapat
dibuat secara khusus dengan bentuk seperti yang ada sekarang. Pipisan hanya
berupa sebuah batu yang permukaannya datar dan bentuk batu pipisan tampaknya
masih bertahan hingga sekarang. Hal inilah yang menyebabkan batu pipisan Masa
Pra-Sejarah seringkali sulit dibedakan dengan benda yang sama tapi dari masa
yang berbeda, seperti batu giling sekarang ini. Kegunaaan dari batu pipisan
juga untuk menghaluskan biji-bijian dan ramuan tumbuhan yang berasal dari
tanaman liar. Jadi, selain dari bentuk yang kian sulit untuk dibedakan, segi
kegunaan juga memiliki kesamaan yang sangat signifikan, menghaluskan bahan makanan
atau beraneka macam rempah sebagai cita rasa makanan yang ada.
Dengan
demikian, dapat disimpulkan bahwa batu pipisan atau batu giling berasal dari
Masa Pra-Sejarah yang hingga kini masih digunakan sebagai alat teknologi rumah
tangga dengan fungsi dan kegunaan yang sama (menghaluskan bahan makanan,
seperti rempah-rempah). Selain itu, batu giling yang digunakan saat ini juga
masih menggunakan batu giling berbahan batu dan sangat jelas Masa Pra-Sejarah
masih menjadi warisan dalam kehidupan sekarang ini.
Gambar : Batu Pipisan Masa Mesolithikum |
Gambar : Batu Giling Masa Sekarang |
Batu
giling tidak hanya dikenal bagi masyarakat lokal, melainkan menyebar ke seluruh
Indonesia bahkan ke seluruh pelosok dunia. Sama halnya dengan bahan baku
pembuatan dan kegunaan, namun berbeda dari nama dan bentuknya.
3. Jenis-Jenis Batu Giling
Batu
giling memiliki beraneka ragam jenis, baik dari segi bentuk, segi ukuran, bahan
baku pembuatan, bahkan dari skala olahan yang digiling. Untuk lebih jelasnya
dapat dilihat diantaranya sebagai berikut :
a. Batu Giling Kacang
Seperti namanya, batu giling kacang merupakan jenis batu giling yang digunakan untuk menggiling atau menghaluskan palawija dan kacang-kacangan seperti kedelai, kacang merah, kacang tanah, dan gandum. Bahan-bahan yang digiling tersebut akan menghasilkan tepung yang digunakan dalam membuat makanan. Maetdol atau Mangdol (sebutan untuk orang Korea). Nah, Maetdol ini diperkirakan telah digunakan oleh rakyat Korea sejak zaman purba dan mencerminkan aspek peralatan dapur yang primitif. Artefak batu giling yang ditemukan diperkirakan berasal dari abad ke-8 M, menandakan bahwa masyarakat Korea pada saat itu telah mengusahakan lahan pertanian.
Gambar : Maetdol yang digerakkan oleh sapi ala
rakyat Korea
Bentuk Maetdol sangat sederhana, yakni dengan
dua buah batu penggiling saling ditumpuk, dan batu paling atas diputar untuk
menggiling. Ukuran Maetdol bervariasi, dari yang berdiameter 20 cm sampai 1
meter. Permukaan penggilingan dibuat kasar dan tidak rata agar bahan-bahan
palawija dapat dihaluskan.
Gambar : Batu Giling Tahu yang Dijadikan sebagai
Monumen |
Proses
pembuatan tahu, kedelai yang sudah direndam semalaman, lalu sedikit demi
sedikit dimasukkan kedalam lubang batu, sekaligus air juga dialirkan bersamaan
akan digilingnya kedelai. Perlahan batu di dorong memutar searah jarum jam,
hingga menjadi adonan. Dibagian bawah terdapat ember yang berfungsi untuk
menampung luapan adonan kedelai. Setelah digiling, selanjutnya adonan di rebus
hingga matang ditungku berukuran besar, setelah matang adonan tersebut lalu
disaring dengan kain putih tipis untuk memisahkan sari kedelai dan ampasnya.
Sari kedelai yang sudah berhasil dipisah lalu diaduk dan diisi dengan ragi atau
aseman, yang berfungsi untuk menggumpalkan sari kedelai. Setelah menggumpal,
kedelai tersebut lalu di cetak untuk kemudian dipotong sesuai ukuran besar dan
kecil.
c. Batu Giling Rempah-Rempah
Batu giling dibuat daripada batu besar dan dicanai menjadi segi empat dan sebuah anak batu. Batu giling terdiri dari dua perkara yaitu ibu batu bagian dasar batu giling yang digunakan untuk meletakkan bahan-bahan yang akan digiling dan anak batu ialah batu giling yang akan digunakan untuk menggiling bahan-bahan tadi.
Batu giling telah digunakan untuk menggiling rempah-ratus, cabe, daun inai, kelapa untuk dibuat kerisik dan sebagainya. Hasil gilingan menggunakan batu giling ini amat halus dan lumat. Cara menggunakan batu giling ini juga amat unik. Kedua belah tangan akan digunakan untuk memegang anak batu menggiling bahan dengan cara menyorong dan menarik batu ke depan dan ke belakang supaya bahan gilingan halus dan hancur sehingga lumat. Batu giling ini juga perlu diasah supaya permukaan tetap dalam keadaan kasar. Jika tidak, bagian dasar akan licin dan akan sulit untuk melakukan kegiatan penggilingan karena sudah tidak ada geseran. Pada zaman dahulu, terdapat orang yang akan datang ke setiap rumah untuk menawarkan jasa menajamkan batu giling ini. Alat yang yang digunakan seperti paku, kemudian diketukkan pada dasar batu giling selama proses menajamkan.
d. Cobek dan Ulekan
Berdasarkan penjelasan diatas, cobek dan ulekan salah satu alat tertua yang digunakan manusia sejak zama batu. Buktinya, beberapa temuan arkeologi menunjukkan benda-benda batu yang digunakan sebagai alat untuk menumbuk. Sebagai contoh, artefak batu yang ditemukan di Yunani dari kurun 3200 – 2800 SM, menunjukkan alat untuk mengekstraksi atau menumbuk zat pigmen pewarna yang diambil dari batu-batuan.
Gambar : Aneka Bentuk Cobek dan Ulekan, sebagai
Artefak Arkeologi Yunani
Cobek
dan ulekan merupakan sepasang alat yang telah digunakan sejak zaman purbakala
untuk menumbuk, menggiling, melumat, mengulek, dan mencampur bahan-bahan
tertentu, misalnya bumbu dapur, rempah-rempah, jamu, atau obat-obatan. Istilah
cobek merujuk kepada sejenis mangkuk sebagai alas untuk kegiatan menumbuk atau
mengulek, sementara ulekan merujuk kepada benda tumpul memanjang seperti
pentungan yang dapat digenggam tangan untuk menumbuk atau mengulek suatu bahan.
Baik cobek atau ulekan biasanya dibuat dari bahan yang keras, seperti kayu
keras, batu, atau keramik. Cobek dan ulekan telah lama digunakan sebagai alat
dapur dalam proses masak – memasak hingga kini.
Di
Indonesia, cobek dan ulekan juga digunakan sebagai alat masak – memasak rumah
tangga, alat untuk mengulek dan melumat bumbu dapur, seperti sambal ulek atau
sambal terasi, menghaluskan dan mencampur bumbu gado – gado, dan menyajikan
ayam penyet dalam dunia restoran.
Bentuk
serta ukuran cobek dan ulekan sungguhlah berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan
penggunanya. Cobek kecil berdiameter 8 – 13 cm biasanya digunakan untuk
penyajian sambal secara perseorangan dirumah makan atau restoran, cobek yang
berukuran sedang berdiameter 15 – 20 cm untuk penggunaan rumah tangga, dan
cobek berukuran besar berdiameter 30 – 40 cm dan berbentuk sedikit datar
biasanya digunakan oleh penjual gado – gado atau warung makan yang menyajikan
hidangan dalam jumlah besar.
Tingkat kecekungan cobek dapat berbeda – beda, ada yang dalam menyerupai mangkuk atau lumpang, ada pula yang datar. Ulekan pun memiliki bentuk yang berbeda – beda, paling dominan adalah bulat panjang dengan cara menggenggam seperti menggenggam pistol. Akan tetapi ada pula ulekan yang berbentuk bulat sesuai genggaman tangan untuk menumbuk. Cobek dan ulekan ini juga biasanya digunakan untuk membuat jamu.
Cobek |
Baik
cobek ataupun ulekan biasanya dibuat dari bahan yang keras, misalnya kayu beras,
batu dan keramik. Di Indonesia biasanya bahan yang sering digunakan adalah batu
alam, batu kali atau batu sungai, dan batu andesit (batu vulkanik gunung
merapi). Beberapa daerah di Indonesia
adalah sentral pengrajin cobek dan ulekan batu, yaitu Daerah Muntilan,
Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, dekat Candi Borobudur. Uniknya, cobek dan
ulekan yang terbuat dari bahan utama keramik digunakan apoteker dalam
melumatkan dan mencampur bahan obat-obatan dalam kegiatan farmasi.
Aku
dan sekeluarga menyebutnya obat giling, pastinya dengan alasan bahwa
pembuatannya dengan digiling supaya obat kapsulnya halus dan biasanya obat
giling tersebut dikonsumsi bersama obat cairnya (syrup). Memang unik, ternyata
alat penggilingnya itu sebentuk cobek dan ulekan juga. Aku lupa sekitar umur
berapa, namun pastinya masih jenjang Sekolah Dasar ingat ku. Di keluargaku
ketika sakit pasti dibawa ke puskesmas, sangat jarang mendahului obat-obatan
warung, dan waktu dulu setiap berobat pasti diberi obat giling sama dokternya.
Pahit, walau dilarutkan dalam syrup dengan citarasa strawberynya, tak jarang
menelannya harus tutup hidung bahkan sampai muntah. Peliknya berbicara obat.
Begitupun sama adik-adik dirumah, berlaku hal yang sama. Tak kuat menelan
obatnya.
Di
dalam dunia medis atau ilmu kedokteran, mortir dan stamper ini dijadikan
sebagai alat laboratorium dalam hal menghaluskan, melumat, dan meracik
obat-obatan. Sebenarnya mortir dan stamper yang dimaksud lebih menyerupai
lumpang dan alu, cekungan permukaan alasnya lebih terlihat dalam dibanding
dengan cobek, sedangkan ulekannya atau stamper sebutannya lebih berbentuk alu.
Karena ukurannya yang relatif kecil dan bahan yang dihaluskan cenderung ringan,
maka dari itu penggunaannya masih bersifat digiling. Sedangkan penggunaan
lumpang dan alu lebih bersifat ditumbuk. Nah, dengan alasan dari segi persamaan
cara menggunakan, mortir dan stamper masih terkategori kedalam kelompok cobek
dan ulekan.
Gambar : Aneka Ragam Ukuran Montir dan Stamper |
Penulis: Nurul Aini, S.Pd (Analis Kesenian dan Budaya Daerah)
0 Komentar