Budayapijay.or.id - Mayoritas masyarakat Pidie Jaya, hampir sebagian berprofesi sebagai petani. Sebagai salah satu kabupaten di provinsi Aceh, Pidie Jaya juga merupakan salah satu kawasan srategis Agropolitan. Dalam Qanun Kabupaten Pidie Jaya No 3 Tahun 2020 dijelaskan bahwa agropolitan merupakan kota pertanian yang tumbuh dan berkembang karena berjalannya sistem dan usaha agribisnis serta mampu melayani, mendorong, menarik, menghela kegiatan pembangunan (agribisnis) di wilayah sekitarnya. Kabupaten Pidie Jaya sendiri merupakan pecahan dari Kabupaten Pidie, dengan luas wilayah 1.162,84 km2. Kabupaten ini berada pada belahan utara bukit barisan yang terdiri dari kawasan penggunungan, dataran rendah dan kawasan perairan (laut). Dilihat dari aspek topografi dan klimatologi nya, Pidie Jaya sangat cocok untuk budidaya sejumlah komoditas pertanian seperti padi, kedelai, kacang hijau ubi kayu, dan pisang dengan potensi lahan siap garap seluas 39,466 Ha.
sumber: Suara.com |
Kabupaten Pidie Jaya memiliki kelas ketinggian yang bervariasi yaitu antara 0-1500 m dpl. Kondisi fisik daratan tinggi dengan ketinggian yang relatif rendah berada sebelah utara dengan kondisi kemiringan lereng yang cenderung landai antara 0-25%, sedangkan daratan dengan ketinggian relative tinggi berada diselatan dengan kemiringan 25->40%. Kemiringan lereng merupakan faktor utama yang menentukan suatu daerah apakah layak untuk dibudidayakan atau tidak. Penggunaan lahan untuk kawasan fungsional seperti persawahan dan ladang membutuhkan lahan dengan kemiringan dibawah 15% sedangkan lahan dengan kemiringan diatas 40% akan sangat sesuai untuk penggunaan perkebunan, pertanian komoditas keras dan hutan. Ini menunjukkam bahwa dalam pemanfaatan lahan di kabupaten Pidie Jaya cenderung kearah bagian utara, terutama kegiatan budidaya pertanian (komoditas pangan, hortikultura dan perikanan) pemukiman penduduk serta perdagangan dan jasa.
Berdasarkan sejarahnya, kawasan meuredu ini dahulu merupakan sebuah kerajaan yang disebut sebagai negeri Meuredu/kerajaan Meuredu. Negeri Meuredu ini sudah terbentuk dan diakui sejak zaman Kerajaan Aceh Darussalam. Ketika Sulthan Iskandar Muda berkuasa (1606M-1636M) Meuredu semakin di istimewakan dan menjadi daerah bebas dari aturan kerajaan Hanya satu kewajiban Meuredu saat itu, yaitu menyediakan persediaan logistik (beras) untuk kebutuhan kerajaan Aceh. Dalam Qanun Al-Asyi pasal 12 disebutkan juga bahwa keberadaan Negeri Meureudu sebagai daerah kepercayaan sultan, untuk melaksanakan segala perintah dan titahnya dalam segala aspek kehidupan, baik politik, ekonomi, sosial, budaya dan pertahanan keamanan Kerajaan Aceh Darussalam. Keistimewaan negeri Meuredu tidak hanya sebagai daerah kepercayaan Sulthan Iskandar Muda saja, Meuredu juga dijadikan sebagai kawasan lumbung logistik (beras) untuk kebutuhan kerajaan Aceh.
Sejak dahulu, Meuredu memang sudah terkenal akan kualitas padinya. Proses yang dilalui hingga menjadi beras tentunya membutuhkan beberapa tahapan. Penggunaan teknologi tradisonal menjadi solusi agar proses panen padi menjadi lebih cepat dan maksimal. Pada saat panen raya tiba, mayarakat menyebutnya dengan keumeukoh. Dalam proses keumeukoh, padi yang sudah menguning di potong menggunakan sadeup (sabit). Dahulu, sebelum adanya mesin babat seperti sekarang, para petani sawah menggunakan sadeup untuk memotong padi. Mereka beramai-ramai menyabit padi sehingga proses memotong padi menjadi lebih cepat.
Padi yang sudah dipotong tersebut kemudian di ikat dengan ukuran kira-kira dua genggaman tangan, lalu di jemur selama 1 hari di atas potongan padi yang masih tinggal di lahan sawah tersebut. Padi yang sudah di ikat itu dinamakan dengan Nibai. Tujuan penjemuran nibai ini agar pada proses ceumeulo nanti menajdi lebih mudah. Karena padi yang masih basah, sulit untuk di pisahkan antara butir padi dengan batang padinya. Setelah nibai dijemur dan kering, selanjutnya di angkat ke pinggiran sawah lalu di kumpulkan dan di tumpuk dengan bentuk lingkaran memanjang ke atas. Ini dilakukan agar potongan padi yang sudah di panen menjadi rapi dan memudahkan petani untuk memaksimalkan kawasan, tempat panen berlangsung. Setelah nibai di tumpuk, selanjutnya masuk pada proses pemisahan butir padi dengan batang padi hingga menjadi gabah. Proses ini disebut dengan “ceumeulo”. Ceumeulo bermakna menginjak padi dengan kaki, tujuannya agar terlepas butir-butir padi dari jeraminya. Ceumeulo dilakukan dengan cara menginjak-injak tumpukan padi yang sudah dikeringkan setelah dipanen, serta sebuah tongkat yang dipegang di tangan untuk mempermudah proses tersebut, sehingga perlahan padi lepas dari jerami kering yang masih mengikatnya, lalu menjadi tumpukan gabah.
sumber: Kompas.com |
Gabah yang sudah terkumpul itu kemudian di tampi menggunaan panampi yang di sebut dengan Ji’e. Proses menampi gabah tersebut di namakan dengan “Kemurui” yang tujuannya untuk memisahkan gabah dengan sisa-sisa batang padi, ampas dan sampah yang masuk saat proses “ceumeulo” berlangsung. Setelah proses kemurui selesai, barulah gabah tadi di sukat menggunakan sukat tradisional yaitu “are/tong”. Tujuannya adalah untuk mengetahui berapa banyak hasil panen yang di dapat oleh petani sawah. Gabah yang sudah di sukat kemudian dibawa pulang menggunakan eumpang lalu di simpan di tempat penyimpanan padi yang disebut dengan “krong pade”. Krong pade merupakan tempat penyimpanan padi hasil panen yang sudah dikeringkan. Terbuat dari anyaman bambu berbentuk bulat yang ditempatkan dibawah rumah Aceh maupun di bagian dekat dapur.
Sebelum adanya teknologi modern seperti mesin perontok padi dan mesin penggiling padi seperti sekarang, pertani dulu lebih mengandalkan sumber daya dan tenaga manusia. Selama proses panen berlangsung pun sangat bergantung pada keadaan cuaca alam. Jika cuaca buruk, masyarakat tidak bisa melanjutkan kegiatan panen padi dikarenakan proses yang dilkaukan berada di tempat tebuka dan mengandalkan sinar matahari. Namun, jika cuaca baik, proses panen padi dapat dilakukan sampai dengan selesai. Setelah proses panen di lalui, gabah yang sudah di simpan di dalam krung pade tadi, selanjutnya melalui proses pemisahan kulit padi dengan biji padinya. Proses pemisahan kulit padi hingga menjadi beras pun tidak terlepas dari peran teknologi tradisionalnya yaitu Jeungki. Jeungki merupakan alat penumbuk tradisional yang digunakan masarakat Pidie Jaya untuk memisahkan kulit padi hingga menjadi beras. Jeungki merupakan alat penumbuk tradisinal Pidie Jaya yang digerakkan menggunakan kaki dengan sistem jungkit pada satu titik tumpu nya. Dalam masyaraka Pidie Jaya, Jeungki sudah dikenal sejak lama. Hal ini terjadi karena dahulu, di setiap rumah-rumah warga, terdapat Jeugki yang diletakan di bawah rumah. Masyarakat secara mandiri melakukan proses menumbuk padi dan tepung di rumah mereka masing-masimg, Namun ada juga yang meletakan Jeungki ini di dekat lokasi persawahan dan mereka melakukan proses menumbuk padi dan tepung ini bersama-sama dengan masyarakat lainnya.
Keberadaaan Jeungki pada masyarakat perkotaan memang sudah hampir tidak ditemukan dan digunakan lagi. Namun untuk masyarakat yang ada diperkampungan seperti di kecamatan Lueng Putu dan Jangka Buya, kabupaten Pidie Jaya, Jeungki masih bisa ditemukan dan masih digunakan oleh masyarakat setempat. Bentuknya cukup besar dan juga tidak dapat dipindahkan secara mendadak jika kondisi tidak darurat, bahkan membutuhkan waktu dan butuh banyak orang untuk bisa memindahkan Jeungki tersebut. Biasanya Jeungki ini dipesan kepada seorang utoeh (pengrajin Jeungki) dengan biaya yang terbilang mahal, hal ini mengingat bahan- bahan yang digunakan untuk membuat alat tersebut haruslah kayu dengan kualitas terbaik dan tahan lama. Jeungki biasanya digunakan untuk menumbuk padi, beras dan sagu. Dibeberapa kesempatan Jeungki juga digunakan sebagai penumbuk U Sineulue (kelapa gongseng) sebelum di giling di penggilingan batu.
Bagi masyarakat Pidie Jaya, Jeungki tidak hanya sebagai alat penumbuk saja. Proses meu-jeungki sendiri memiliki nilai budaya yang tinggi. Jeungki merupakan simbol gotong royong bagi masyarkat Pidie Jaya. Melaui proses meu-jeungki yang dilakukan masyarakat bersama-sama baik di bawah rumah maupun di dekat sawah ini, terjalinlah interaksi-interaksi sosial seperti jalinan kebersamaan, keceriaan, persaudaraan, keakraban, dan kekompakan antar masyarakat Pidie Jaya.
MENGENAL TEKNOLOGI TRADISIONAL JEUNGKI
A. Sejarah
Jeungki
Masyarakat pada fase ke-dua masa pra aksara, untuk memenuhi kebutuhannya sudah tidak lagi hidup dengan cara mengembara, tetapi bermukim dan menetap di suatu tempat secara bekelompok. Mereka beralih dari usaha berburu dan mengumpulkan hasil alam ke usaha bercocok tanam. Kehidupan manusia saat itu tidak terlepas dari lingkungan sekitarnya. Mereka akan berusaha memilih lingkungan yang sesuai untuk aktivitasnya dengan memanfaatkan sumber daya alam secara optimal. Masyarakat pada fase itu memilih lokasi sesuai dengan lingkungan alam yang dapat memenuhi kebutuhannya, misalnya di gua-gua yang dekat dengan sumber makanan atau tempat-tempat terbuka di pinggir sungai. Dengan bercocok tanam keperluan akan bahan makanan dapat diperoleh sewaktu-waktu dari tempat yang letaknya dekat ke tempat bermukim. Dengan demikian setiap hari dan selama keadaan cuaca mengizinkan dapat tersedia bahan makanan segar yang tidak perlu diawetkan. Apalagi ketika itu cara-cara mengawetkan makanan belum banyak diketahui orang selain cara-cara mengeringkan dan mengasapkan makanan.
sumber: Detiktravel.com |
Perkembangan pertanian Indonesia sebelum Belanda datang, ditentukan oleh adanya sistem pertanian padi dengan pengairan. Sistem pertanian padi sawah merupakan upaya untuk membentuk pertanian menetap. Sistem sawah, merupakan sistem dengan pengolahan tanah dan pengelolaan air yang baik sehingga tercapai stabilitas biologi yang tinggi dan kesuburan tanah dapat dipertahankan. Sawah juga merupakan potensi besar untuk produksi pangan yaitu padi. Bertani adalah kehidupan pokok bagi rakyat, dan pemerintah memperoleh sumber penerimaannya semata-mata dari pertanian. Penerimaan negara terutama terdiri atas pembayaran innatura dan jasa-jasa tenaga kerja penggarap tanah. Ini berarti bahwa sebagai kawula (warga negara), petani harus menyisihkan sebagian hasil panen dan waktunya bagi keperluan raja, kerajaan dan atasan. Pembayaran ini sebagai bukti bahwa mereka sebagai kawula dari suatu negara dan dianggap sebagai imbalan untuk perlindungan pemerintah dari serangan musuh atau gangguan keamanan lainnya.
Dalam mengerjakan tanah pertaniannya petani mempergunakan peralatan sederhana berupa pacul, bajak, garu, dan parang yang dibuat masyarakat setempat. Ternak merupakan tenaga pembantu yang paling penting untuk mengolah tanah. Hampir tidak ada keluarga tani yang mengupah buruh tani untuk mengerjakan sawah. Meskipun kecil, hampir setiap keluarga memiliki tanah sawah atau tegalan yang mereka tanami bahan makanan berupa padi, jagung, jagung cantel (shorgum), jewawut, ubi, dan ketela. Dalam istilah ekonomi pertanian usaha semacam ini dinamakan usahatani subsisten yang hasil produksinya diutamakan untuk keperluan keluarga sendiri; sedangkan sarana produksi dicukupi dari dalam keluarga.
Produk yang dihasilkan oleh tumbuh-tumbuhan itu tidak selalu dapat langsung dipergunakan atau dimakan oleh manusia, umumnya perlu dilakukan pengolahan terlebih dahulu. Seperti pengolahan padi. Teknologi pengolahan padi menjadi beras memang sudah ada bahkan sejak sebelum masa Kesultanan Aceh. Kegiatan ini di sebut dengan menumbuk padi. Menumbuk padi adalah proses memisahkan butir padi menjadi beras. Menurut hasil wawancara dengan salah satu narasumber pelaku tani (Muhammad gade, S.Pd), sebelum masyarakat mengenal Jeugki, alat tradisional yang digunakan sebegai penumbuk padi ialah lesung. Lesung merupakan suatu wadah yang terbuat dari batu atau kayu dengan lobang yang cukup dalam dan berdiameter minimal 20 centimeter. Proses menumbuk padi dilakukan dengan cara memukul-mukul padi yang sudah dijemur dengan kayu yang disebut sebagai ale/alu kedalam lesung. Alu tersebut berdiameter lebih kurang 5-10 cm dan panjang antara 150 cm sampai 2 meter. Proses menumbuk dilakukan dengan menghentak-hentakan padi dengan alu ke dalam lubang lesung, hentakan-hentakan itu akan melepaskan butir padi hingga menjadi beras yang siap untuk dimasak. Penggunan lesung sebagai alat penumbuk padi, dirasa kurang efesien oleh masyarakat karena hanya mengandalkan tenaga dari tangan saja dan hanya bisa dilakukan oleh satu orang pada satu lesung. Oleh karena itu, masyarakat mulai memikirkan inovasi dari teknoogi penumbuk padi. Saat iulah Jeungki mulai digunakan sebagai inovasi dari lesung.
Sejak masa kesultanan Aceh Darussalam (1630M-1636M), masyarakat mulai menggunakan Jeungki sebagai alat penumbuk padi.
Bagian-bagian Jeungki
Alat penumbuk padi tradisional ini terdapat di
seluruh daearh di nusantara. Namun, tentu dengan bentuk yang berbeda-beda. Ada
yang berukuran kecil dan hanya bisa di lakukan oleh 1 orang, ada juga yang
berukuran besar dan terdiri dari beberapa unsur bagian seperti alat penumbuk
padi tradisional Jeungki ini, berikut penjelasan beberapa bagian yang ada pada
Jeungki.
(1)
Ulee jeungki (kepala jeungki)
Ulee jeungki adalah bagian dari kepala jeungki. Biasanya ukurannya lebih besar dari ekor jeungki. Pada ulee jeungki ini dibuat lobang empat persegi untuk memasang alu sebagaialat penumbuk. Ada beberapa jeungki di gampong-gampong agar tidak lekas pecah karena desakan alu maka pada ulee jeungki ini sering dipasang cincin jeungki.
(2) Iku
jeungki (ekor jeungki)
Ekor jeungki adalah bagian pangkal yang kecil sebagai tempat injakan. Bagian ini dibuat sedikit agak berlekuk-lekuk agar mudah diinjak jika menumbuk padi. Jika bagian ini diinjak maka bagian ulee (kepala) beserta dengan alu akan terangkat tinggi, lalu dilepaskan dan alu masuk ke dalam lesung.
(3)
Pha jeungki (paha jeungki)
Pha jeungki adalah tempat diletakkan jeungki agar mudah dijungkat-jungkatkan. Pha ini terbuat dari dua balok kayu yang ditanamkan ke dalam balok kayu yang lain. Di kiri kanan pha ini diberi lobang tempat sepasang kayu yang seperti asdimasukkan. Kayu as ini disebut suri. Beberapa jeungki yang lain ada pula pahanya langsung ditanan ke dalam tanah.
(4)
Sapai jeungki (tangan jeungki)
Sapai jeungki adalah kayu yang diletakkan di atas paha sebagai tempat berpegang jika menumbuk padi.
(5)
Ureuk jeungki (lobang jeungki)
Uruek jeungki adalah tempat masuk iku (ekor) jeungki. Jika iku jeungki diinjak dengan sendirinya ulee jeungki terangkat ke atas.
(6)
Leusong jeungki (lesung jeungki)
Lesung jeungki adalah kelengkapan yang digunakan untuk mengisi padi yang akan ditumbuk. Lesung ada yang dibuat dari kayu, batu alam atau semen yang ditanam ke dalam tanah.
(7)
Alu (alu)
Alu jeungki adalah alat penumbuk. Alu ada dua macam yaitu alu seuneuba (alee seuneuba) dan alu seuneurhoh (alee seunerhoh). Alee seuneuba adalah alu yang digunakan ketika pertama kali menumbuk padi, yaitu untuk mengupas kulit padi. Sedangkan alee seuneurhoh adalah alu yang digunakan untuk menumbuk padi yang setengah jadi atau menghaluskan beras. Karena fungsinya yang berbeda, maka alee seuneuba dibuat dari kayu keras sehingga kulit padi lekas pecah dan alee seuneurhoh dibuat dari kayu yang lembut/ringan agar beras tidak patah.
(8)
Bajoe (pasak)
Bajoe adalah sebagai pasak yang digunakan agar alu terpasang dengan kuat pada ulee jeungki supaya tidak terlepas.
(9)
Penyangga
Penyangga adalah
sebagai bahan penahan jeungki ketika pada saat jeungki dihentikan untuk
mengambil hasil dalam leusong.
Penulis: Intan Nirmala Sari, S.Sn (Ahli Pertama - Pamong Budaya)
0 Komentar