Masjid Madinah di Pidie Jaya: Jejak Ulama dari Tanah Arab di Tanah Rencong

Budayapijay.or.id - Situs Masjid Madinah terletak di Gampong Dayah Kruet Kecamatan Meurah Dua, Kabupaten Pidie Jaya. Lokasinya langsung berhadapan dengan sawah di mana sekitar 100 meter di sisi utara terdapat makam Ja Pakeh. Bentuk Masjid Madinah menggunakan konsep denah bujur sangkar. Luasnya adalah 12 m x 8 m. Bangunan ini ditompang oleh 16 tiang utama. Pada salah satu tiang di tengah masjid dipasang pijakan untuk menuju bagian atap yang dahulunya difungsikan sebagai tempat azan. Setiap dinding terdapat tiga jendela, posisi mihrab di sisi barat sementara pintu utama berada di sisi timur masjid.



Sebuah mimbar kuno berbahan kayu berada di area mihrab yang diyakini berasal seumur dengan masjid. Ukuran mimbarnya ialah 1.7 m x 1.1 meter dengan tinggi 2.5 meter. Terdapat dua anak tangga dan satu tongkat kayu (1.5 meter) pada mimbar ini. Sementara pada bagian teras masjid terdapat sebuah tempayan coklat kehitaman (diameter: 70 cm) yang diyakini berasal dari dapur Martavan abad ke 17 Masehi. Terdapat juga kolam dengan dinding berbahan batu sungai seluas 7x7 meter di sisi timur masjid yang dahulunya difungsikan sebagai tempat wudhuk.



Masjid Madinah merupakan salah satu masjid kuno paling populer di Pidie Jaya. Berdasarkan cerita turun temurun, masyarakat lokal menyakini bahwa masjid ini dibangun oleh Teungku Ja Pakeh. Ia salah seoarang ulama dan penasehat perang Sultan Iskandar Muda (abad ke-17 Masehi) asal Madinah yang kemudian menetap Meureudu (Hurgronje 1906). Ia juga merupakan tokoh penting yang terlibat dalam ekspedisi ekspansi kesultanan Aceh ke Semenanjung Melayu semasa sultan Iskandar Muda (Hadi 2004).

Menurut masyarakat lokal, masjid ini didirikan oleh Ja Pakeh sesaat setelah kembali dari ekspedisi di tanah Melayu. Kemudian, mimbar kayu kuno yang kini berada di mihrab masjid diyakini dibawa dari Madinah oleh Teungku Ja Pakeh seusai melaksanakan ibadah haji. Peristiwa inilah yang menjadi cikal bakal dinamai masjid Madinah. Cerita apik tersebut masih terus dilantunkan sehingga kisah pembangunan masjid ini cukup populer dalam masyarakat.

Hurgronje (1906) menyatakan bahwa Ja Pakeh adalah ulama asal Madinah, namun dalam bukunya tidak ada keterangan mengenai riwayat masjid ini. Begitu juga dengan makam Ja Pakeh yang berada sekitar 100 meter di sisi utara masjid ini yang belum didapati keterangan tertulisnya. Sumber lainnya mengisahkan bahwa Ja Pekeh tiba di Meureudu bersama rombongan utusan Sultan Turki ke Aceh atas hasil misi “lada sicupak” di abad ke-16 Masehi. Rombongan tersebut berangkat dari Turki dan singgah di teluk Arab sambil menunggu pertukaran angin sebelum meneruskan perjalanan ke Aceh. Ja Pakeh kemudian berangkat ke Aceh bersama armada Turki tersebut hingga kemudian menetap di Meureudu. Cerita ini sangat logis, namun kita perlu membuktikannya secara ilmiah untuk mengklarifikasi kesahihannya.

Secara arkeologis, masjid ini merepresentasikan bentuk masjid kuno di Nusantara. Elemen arsitektur khas masjid Madinah ditampilkan melalui atapnya yang berbentuk limas dan bertingkat. Walaupun atapnya telah dipugar, namun prinsip arsitekturnya masih tetap dipertahankan. Motif hias masjid ini juga sangat unik. Ornamen khas masjid ini terdapat pada mimbar dan pintu utama.

Berdasarkan hasil identifikasi, mimbar masjid ini dihiasi oleh motif ukiran Aceh. Tiang mimbar dihias dengan motif bungong kupula (motif tanjong), bungong seulanga (motif kenanga), bungong awan sitangké (motif awan setangkai) dan bungong aneuk abiek (motif kecebong). Motif pada panil atas mimbar yang berbentuk melengkung menyerupai tanduk kerbau adalah kombinasi motif bungong awan sitangké (motif awan setangkai) dan motif bungong keundô (motif awan-awan). Sementara motif paling padat pada mimbar terdapat di dindingnya, semua jenis motif yang telah disebutkan di atas semuanya muncul dengan beberapa tambahan motif lainnya seperti motif bungong puta talo dua (motif simpul tali dua) dan bungong awan- awan (motif awan-awan).

Di atas pintu utama terdapat panil kayu melengkung (berbentuk tanduk kerbau) yang dihiasi oleh ornament- ornamen khas Aceh. Motifnya juga sama seperti yang telah disebutkan di atas. Menariknya adalah terdapat motif bungong kalimah (kalimah tauhid) di antara sulur- sulur bunga sehingga memberikan kesan spiritual yang mendalam.

Mimbar kayu masjid ini sangat kaya akan ukiran motif lokal sebagaimana yang disebutkan di atas. Kehadiran motif khas Aceh beserta jenis kayu memberikan informasi tentang tentang asal usul mimbar ini. Kayu jati merupakan jenis tumbuhan iklim tropis, tidak mungkin hidup di jazirah Arab yang beriklim gurun. Kemudian, motif-motif yang disebutkan di atas merupakan seni pahat khas Aceh. Fakta tersebut membutktikan bahwa mimbar ini tidak dibawa dari Madinah, melaikan dugaannya dibuat di salah satu wilayah di Aceh oleh pengrajin lokal yang sangat mahir mengukir motif-motif tradisional.

Pertanggalan pasti masjid Madinah juga belum dapat dibuktikan secara ilmiah. Cerita masyarakat lokal bahwa dibangun pada abad ke-17 Masehi mengisahkan beberapa pertanyaan. Dari berbagai sumber tertulis bahwa tidak ada yang menyebutkan tentang kehadiran masjid kuno secara khusus di Pidie Jaya abad ke-17 Masehi (Said 1981). Jika memang masjid ini telah didirikan sejak zaman Iskandar Muda, kemungkinan besar di dalam naskah Hikayat Aceh akan menyebutnya mengingat peristiwa detil perjalanan ekspansi Iskandar Muda ke Malaysia dideskripsikan secara jelas (Lombard 2007, Cowan 1980). Apalagi bahwa masjid ini didirikan oleh Tengku Ja Pakeh yang mana tokoh ini disebutkan di dalam naskah tersebut. Naskah-naskah lainnya dari pendatang luar seperti Eropa, India, serta Asia Tenggara juga tidak mengabarkan akan keberadaan masjid kuno di Pidie Jaya yang dahulu dikenal sebagai Meureudu (Markham 1880).

Sejauh ini kita belum memiliki referensi akurat mengenai pertanggalan absolut pendirian masjid ini. Kebanyakan masjid-masjid kuno di Aceh yang berbahan kayu berasal dari sebelum abad ke-20 Masehi. Karena pengaruh kolonial, masjid-masjid berbahan semen setengah permanen mulai hadir di Aceh sejak tahun 1900an. Atap masjid Madinah juga masih mewakili bentuk lama, tidak menggunakan atap arsitektur yang modern yang muncul di Aceh abad ke-19 dan 20 Masehi. Arsitektur atap modern berbentuk bundar sebagaimana ditunjukkan oleh Masjid Raya Banda Aceh sekarang, yang berdasarkan rencana gambar de Bruins 9 Oktober 1879, menggantikan Masjid Baiturrahman masa Sultan Iskandar Muda beratap tingkat tiga yang terbakar pada waktu Perang Aceh (Tjandrasasmita 2009).

Posting Komentar

0 Komentar

advertise

Menu Sponsor

Subscribe Text

Ikuti Channel YouTube Budaya Pijay