Budayapijay.or.id - Masjid Tuha Trienggadeng terletak di desa Trienggadeng, Kecamatan Trienggadeng Kabupaten Pidie Jaya. Bangunan ini menggunakan denah bujur sangkar dengan 10 meter dan lebar 8 meter. Rangka serta material utama masjid ini adalah kayu. Arsitektur masjid ini menunjukkan konstruksi bangunan tradisional. Hal ini terlihat jelas dari keberadaan pelapik tiang berbahan batu, suatu jenis material yang sangat lazim digunakan pada bangunan tua pada masa lampau. Namun. sekitar tahun 2000an dilakukan renovasi dengan menambahkan dinding dan lantai semen serta menggantikan atap rumbia dengan bahan permanen.
Masjid ini ditopang oleh 16 tiang utama dengan atapnya khas berkonsep limas yang bertingkat dua. Bagian atap dahulunya digunakan untuk mengumandangkan azan sebagaimana masjid kuno lainnya di Aceh. Fitur paling mengesankan adalah keberadaan mimbar kuno yang diletakkan di bagian mihrab. Mimbar ini berbahan kayu dan dipenuhi oleh ornament pada permukaannya. Ukuran mimbarnya adalah 1 x 1.5 meter dengan tinggi maksimal 2.5 meter. Atap depan mimbar melengkung yang menampilkan ciri khas mimbar kuno yang lazim digunakan di Nusantara.
Sejarah masjid ini belum begitu jelas. Rekaman kolektif masyarakat sekitar juga tidak berhasil menguatkan angka tahun pendiriannya. Berdasarkan arsitekturnya, berkemungkinan masjid ini berasal dari periode pra-kemerdekaan. Usianya diyakini juga lebih muda dari Masjid Baiturrahman yang juga terletak di Kecamatan Trienggadeng. Elemen arsitektur atap berbentuk limas bertingkat adalah indikator utama pendirian masjid ini. Walaupun atapnya telah dipugar, namun prinsip arsitektur masih tetap dipertahankan.
Mimbar kayu masjid ini begitu istimewa. Dinding utamanya dibuat dari satu lembar papan berukuran sangat lebar sehingga ornament yang dihasilkan begitu indah. Ornament tersebut diberi warna berbeda beda seperti hijau, merah dan kuning yang mungkin berasal dari cat organik. Namun sangat disayangkan bahwa permukaan luar mimbar ini telah dilapisi cat warna putih. Walau demikian, warna aslinya masih terlihat di balik warna putih tersebut.
Ornament yang diukir pada mimbar ini adalah motif tanjong (bungong kupula), motif kenanga (bungong seulanga), motif awan setangkai (bungong awan sitangké), motif kecebung (bungong aneuk abiek), motif awan-awan (bungong keundô), motif simpul tali dua (bungong puta talo dua) dan motif awan-awan (bungong awan-awan).
Detil pahatan motif di atas begitu rapi dan presisi. Ini adalah tanda bahwa mimbar ini diukir oleh pemahat profesional. Dalam masyarakat Aceh, setiap jenis motif tersebut memiliki makna. Motif bungong seumanga atau disebut juga sebagai bungong seulanga merepresentasikan sifat lemah lembut dan keharmonisan yang sering diberi warna merah dan kuning. Motif simpul tali (bungong puta talo) adalah simol kekuatan dan pemersatu. Tali simpul dua sering digunakan pada rumah Aceh sebagai pengikat sehingga dimaknai sebagai penyatu. Bungong apeeng dimaknai sebagai simbol kesuburan dan keindahan. Motif bungong bungong Geulima yang berbentuk seperti tunas adalah lambang keindahan dan kesuburan. Bungong seuleupok juga bermakna kesuburan dan keindahan. Motif bunga awan-awan digambarkan sebagai kekuasaan dan kebesaran Allah SWT. Motif bunga melati atau bungong meulu adalah lambang kesucian, keindahan dan kesuburan. Motif awan setangkai (awan sitangke) melambangkan ketinggian dan kesucian serta keperkasaan sehingga motif ini sangat sering ditemukan pada nisan-nisan pembesar hebat di kesultanan Aceh abad ke-16 dan 17 Masehi.
Masyarakat Aceh juga memiliki makna filosofis terhadap warna-warna tradisional (merah, kuning, hijau, hitam dan putih). Warna merah melambangkan kekuatan dan keberanian. Kuning melambangkan kekayaan dan keagungan. Putih diartikan kesucian sementara hijau bermakna kesejukan, kehangatan, kemakmuran dan kesuburan.
0 Komentar